oleh

Mengenang Haul Datuk Seri H. Al Azhar

Pekanbaru, Detaksatu : Al azhar lahir di kampung Talikumain (dulu: Kampung Baru) Dalu-dalu Tambusai (Rokan Hulu, Riau) pada tanggal 17 Agustus 1961. Ibunya bernama Robi’ah binti Jalil (wafat tahun 2000), dan ayahnya bernama Abdul Karim bin Tengku Tua (wafat 2001). Al azhar adalah anak sulung dari empat bersaudara (tiga laki-laki, dan satu perempuan). Oleh karena itu, di kampungnya ia dipanggil ‘Ulong’ (sulung), baik oleh adik-adik kandungnya maupun oleh saudara-mara yang berusia lebih muda dalam hirarkhi kekerabatan luas yang sejajar dengannya.

Pada usia lebih kurang lima tahun, ia masuk sekolah dasar filial di kampungnya, yang berinduk ke SD Negeri 01 Dalu-dalu. “Paksaan penuh hikmah, sebenarnya,” kata Al azhar. Di sebuah pangkalan (tempat mandi, mencuci dan kakus) tepi Batang Sosah di kampungnya, suatu petang, salah seorang mamaknya (abang ibunya) menyuruhnya melintangkan tangan kanan di atas kepala untuk menjangkau telinga kirinya. “Melihat saya sudah bisa menjangkau telinga dengan cara itu, mamak tersenyum,” cerita Al azhar. Malamnya, setelah selesai mengaji, ketika keluarga itu duduk melingkar untuk santap malam, ibunya berkata, “Besok kamu sekolah, ya. Mamakmu tadi singgah, menyuruh antar kamu ke sekolah besok.” Kata Al azhar, ia terhenyak membayangkan hari-hari yang akan dijalani mulai besok: mandi ke sungai pagi-pagi sekali, berpakaian, lalu menghadapi guru-guru yang – kata abang-abang sepupunya yang sudah sekolah – suka berang; apalagi mamaknya, yang biasa dipanggil Guru Ludin (nama aslinya, Ahmad Nurdin; almarhum). “Nasi dan gulai ikan kupiyek yang baru dijala Abah (bapaknya; pen.) hampir tak termakan lagi,” kenang Al azhar. Tapi yang menyuruh sekolah itu ibunya, atas ‘perintah’ mamaknya. Ia tak pernah membantah ibunya; tak mau membuat air matanya titik.

Kisah itu terjadi di awal tahun 1967. Sampai akhir tahun 1972, Al azhar belajar di sekolah yang gedungnya harus dikatakan dhaif. Sebab dinding papannya hanya separuh, atapnya bocor di sana-sini, bangku belajarnya sekeping papan, mejanya papan dua keping bertiang kayu bulat sebesar lengan, lantainya tanah, dan papan tulisnya keping-keping papan dicat hitam. Bangunan swadaya orang-orang kampung (yang hampir seluruhnya peladang dan penyadap karet) itu juga sudah senget; di salah satu sisinya disokong kayu-kayu bulat sebesar paha agar tidak roboh. Kalau datang angin kencang, kami berhenti belajar, disuruh ‘keluar main’, atau pulang. Setiap pagi, dua-tiga orang dari kami secara bergiliran membawa air dalam labu untuk mencuci kotoran cingkuk (lutung) yang berserakan di ruang kelas kami. Memang, petang-petang rombongan cingkuk masuk ke kelas yang kosong, ‘berpesta’ rasa asin dengan menggigiti tepi-tepi meja belajar yang penuh peluh tangan dan dada kami yang sering disandarkan di situ.

Sampai kelas dua, untuk mencatat pelajaran, Al azhar dan kawan-kawan sekelasnya (12 atau 13 orang) masih menggunakan ‘batu tulis’; sekeping papan hitam persegi (berukuran sekitar 30 x 25 cm) terbuat dari campuran batu, dan sebatang kalam (juga dari campuran batu, sedikit lebih pendek dan lebih kecil dari ballpoint sekarang). Setelah menyelesaikan satu pelajaran, kami murid laki-laki menghapus papan batu itu dengan sekerat kecil kain buruk, atau dengan tangan saja; sedangkan murid perempuan lebih sering menghapusnya dengan sejenis bunga berwarna putih. Catatan-catatan dari pelajaran yang baru diterima hilang dari pandangan mata, dan pindah ke ingatan. Sepulang sekolah, Al azhar membantu orangtuanya di kedai kelontong kecil, tempat orang-orang kampung berhutang. Tugasnya, terutama mencatat belanja orang-orang (di buku hutang) dan pada petang Rabu (hari pasar Dalu-dalu) menimbang gula dan garam, lalu dibungkus dalam plastik seperempat dan setengah kilogram.

Setelah menamatkan sekolah dasar, masalah lain muncul bagi Al azhar. Di Dalu-dalu ada sekolah PGA (Pendidikan Guru Agama 4 tahun, yang berinduk ke PGA 6 tahun di Kuok), dan sebuah SMP Filial (berinduk ke SMP Negeri Pasir Pengaraian). Kejadiannya berlangsung menjelang makan malam juga. Hari Rabu malam Kamis. Abahnya mengambil sebilah pisau pahat (atau lait; untuk menoreh batang karet) yang baru dibelinya dan sebatang pena, lalu menyodorkannya kepada Al azhar, seraya berkata, “Abang (dalam bahasa Tambusai dan Rambah berarti ‘kamu’; pen.) pilih sekarang, pisau pahat atau pena?” Al azhar menjawab, pena. “Elok,” kata Abah. “Hari Ahad nanti saya antar Abang ke Pasir (Pengaraian; pen.); masuk SMP di sana,” lanjutnya. Al azhar memandang ibunya. Ibunya menunduk. Kami sekeluarga makan malam. Tapi semuanya terasa kelat di kerongkongan. Malam itu Al azhar tidur bersama ibunya, dan sampai larut malam mereka berdua menangis dengan isak tertahan.

Tahun 1973 sampai 1975 Al azhar belajar di SMP Negeri Pasir Pengaraian (sekarang SMP Negeri 1). Beberapa bulan menumpang di rumah kerabat Abahnya, di Kampung Bukit Pasir Pengaraian. Kemudian, Abahnya membeli sebuah rumah sederhana di Kampung Wonosri (waktu itu di pinggir kota Pasir Pengaraian). Atas permintaan sang ibu, bapaknya mengantarkan salah seorang adik sepupu ibu menemani Al azhar. Tapi hanya sekitar enam bulan. Setelah itu pamannya pulang ke Talikumain. Ibunya sempat pula ikut menemaninya di Pasir Pengaraian. Tapi tak sampai empat bulan, ibunya juga balik kampung. Kemudian Al azhar tinggal di rumah itu berdua dengan adiknya yang disekolahkan Abah di sebuah SD di Pasir Pengaraian. Adiknya ini kemudian pulang kampung pula. Lalu Al azhar tinggal dengan dua kerabatnya (satu laki-laki, satu perempuan) yang dikirim orangtua mereka masing-masing untuk bersekolah di Pasir Pengaraian. Sejak itu, setiap hari Sabtu, sepulang sekolah – bersama kerabat laki-lakinya itu – Al azhar pulang, bersepeda menempuh jalan tanah sepanjang 33 kilometer dari Pasir Pengaraian ke Talikumain, untuk menjemput beras bekal makan seminggu. Petang Ahad, keesokan harinya, mereka mendayung sepeda lagi ke Pasir Pengaraian. Pada satu petang Ahad, Al azhar merasa malas sekali kembali ke Pasir Pengaraian. Ibunya marah, mengambil sekerat kayu api, mengancamnya. Dengan berurai air mata Al azhar minta ampun kepada ibunya. Dan dengan berurai air mata pula ia mengambil sepedanya, berkayuh ke Pasir Pengarayan.

Setamat SMP, keluarga berunding untuk menyekolahkannya di luar Pasir Pengaraian. Keadaan ekonomi keluarganya sedang memburuk, sehingga Abahnya berniat menumpangkannya pada anak abangnya yang bekerja di salah satu kontraktor PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) di Duri. Abahnya membawanya ke sana, tapi rupanya keadaan anak abangnya itu juga sedang memperihatinkan. Niat itu dibatalkan, bahkan sebelum Abahnya mengatakan maksud utama kedatangan mereka. Dari Duri mereka ke Pekanbaru, dengan maksud mendaftar Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA). Pilihan itu dibuat karena sekolah kedinasan bidang pertanian itu hampir sepenuhnya dibiayai negara. Tapi mereka datang terlambat. Pendaftaran sudah ditutup. Maka atas saran seorang guru terkenal di Dalu-dalu, yang waktu itu sedang menjenguk anaknya di Pekanbaru, Al azhar didaftarkan di SMAN 2 Pekanbaru. Al azhar ‘bayar makan’ (indekos) di rumah seorang kerabat di Sukajadi, dan setiap hari berjalan kaki pergi-pulang dari rumah ke sekolah (yang waktu itu gedungnya menumpang di SMA Setia Dharma, Jalan Prof. M. Yamin Pekanbaru).

Pada semester kedua, seorang seniman, Idrus Tintin, masuk sebagai guru honor. Al azhar yang memilih belajar di jurusan bahasa, merasa heran mendengar sekumpulan orang tepekik-telolong di ruangan lain. Ketika istirahat, ia melihat orang-orang sedang latihan seni yang kemudian diketahuinya sebagai visual puisi. Lonceng masuk belajar berbunyi. Sambil berlalu dari teras ruangan latihan itu, Al azhar tanpa sadar memekikkan ‘sang-sing-song’ (salah satu puisi Ibrahim Sattah), seperti yang dilakukan siswa-siswa yang sedang latihan itu. Tengkuknya tiba-tiba dicekal seseorang: Idrus Tintin. Al azhar dibawa ke ruang latihan, diberi serangkap teks, disuruh gabung. Absen dari mata pelajaran selanjutnya, urusan Idrus Tintin. Sejak itu Al azhar menjadi bagian yang tidak terpisahkan lagi dengan seluruh kegiatan dan kerenah kesenimanan Idrus Tintin. Ratusan pertunjukan sastra dan teater diikutinya, sebagai pemain, dan sebagai asisten Sang Guru. Ekonomi orangtuanya tidak membaik; kiriman bulanan hanya cukup untuk bayar uang kos, sehingga kewajiban membayar ini-itu di sekolah sering tertunda. Tapi hal itu bukan lagi menjadi persoalan besar. Sebab Idrus Tintin telah menjaminnya; entah dengan cara apa. Di kampung, orangtuanya menghutangkan barang-barang kedai kepada saudara-mara sekampung; “Begitu pula Idrus Tintin,” kata Al azhar, “telah menghutangkan apa yang ada padanya kepada saya.” Dan seperti orangtuanya yang mengikhlaskan hutang-hutang sebagian saudara-maranya yang sampai sekarang belum dibayar, begitu pula keikhlasan Idrus Tintin. “Bedanya, keluarga kami menghutangkan barang-barang material kepada kerabat setali darah,” kata Al azhar, “sedangkan Idrus Tintin, bagi saya, ‘menghutangkan’ akal-budinya kepada saya yang tak bertalian darah dengan beliau. Kalau hutang budi, bagaimana hendak membayarnya?” kata Al azhar dengan mata menerawang.

Setelah tamat SMA tahun 1979 (bertambah setengah tahun, karena pemerintah menggeser awal tahun ajaran dari bulan Januari ke bulan Juli), Al azhar kuliah di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Riau. Di situ ia juga bertemu dengan ‘guru-guru’ yang sangat baik, yang dengan cara mereka masing-masing menunjukkan perasaan sayang kepadanya. Sekedar contoh, Al azhar menyebutkan beberapa nama; misalnya, budayawan UU Hamidy yang dinyatakannya sebagai ‘bapak ilmiah’-nya; Ibu Saidat Dahlan, yang mengelola Prodi PBSI FKIP dengan ‘hati’, sehingga antar sesama civitas akademica tercipta suasana yang guyub; Alm. Prof. H. Said Mahmud Umar, seorang dosen yang sentiasa merangsang mahasiswa-mahasiswanya untuk percaya diri dengan ke-Melayu-an mereka; Prof. Mukhtar Ahmad, yang menanamkan integritas sebagai hal yang niscaya dalam kehidupan beradab dan pengembangan peradaban; dsb. Semuanya menjadi bekal yang lebih dari cukup bagi Al azhar untuk memulai karirnya sebagai dosen di FKIP Universitas Islam Riau, tahun 1985.

Tiga tahun kemudian, Al azhar berkesempatan mengikuti pelatihan penelitian sastra Melayu ‘tradisional’ di Tanjungpinang (Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional). Kegiatan itu diselenggarakan oleh berbagai universitas terkemuka di Indonesia bersama Universitas Leiden Belanda. Keseluruhan rangkaian programnya (kuliah, penelitian, dan seminar hasil penelitian) mencapai masa lebih setahun, dan itu memberinya dasar yang baru untuk menapaki bukan hanya arah pengkajian budaya Melayu, tetapi juga kehidupannya. Sastra Melayu ‘tradisional’, dalam lingkungan ilmiah semasa, sering dipisahkan ke dalam dua kelompok: tertulis (berupa sastra naskah dan cetak, yang dianggap lebih ‘agung’), dan lisan (yang dianggap agak ‘kampungan’). Dalam penataran itu, khususnya Henk Maier dan Will Derks (instruktur dari Universitas Leiden Belanda) ‘membongkar anggapan’ itu.

Sebagai tenunan bahasa, tak ada alasan untuk menempatkan sastra yang tertulis dan yang lisan dalam hubungan hirarkhis. Pemaknaan teks bergantung pada kedalaman pembacaan (untuk yang tertulis) dan penyimakan (untuk yang lisan), serta keluasan intertekstualitas seseorang. Lagipula, sastra tertulis Melayu ‘tradisional’ dilahirkan dan diasuh dalam lingkungan masyarakat lisan (oral society): untuk dibacakan di depan khalayak. Dengan pandangan imparsial itu, percanggahan takrif ‘tradisional’ dan ‘modern’ pun menjadi tidak relevan lagi. Jadi, misalnya, warisan sastra tulis Sulalatus Salaatin dan lisan Bujang Tan Domang bisa saja dibaca dan/atau disimak seperti kita membaca/menyimak cerpen dan novel Taufik Ikram Jamil dan Mario Vargas Llosa, misalnya. Dan itulah di antara prinsip yang diterapkan Al azhar dalam menanggapi bukan hanya sastra, tapi juga semua teks dan wacana budaya dalam arti luas.

Tahun 1989, Al azhar menerima tawaran mengajar di Universitas Leiden Belanda, dan bermastautin secara penuh di sana selama tiga tahun. Setelah itu, ia diberi beasiswa oleh Center for Non-Western Studies (CNWS) Universitas Leiden Belanda untuk menulis disertasi. Di masa-masa itu ia (bersama koleganya, Jan van der Putten; kini guru besar di Universitas Hamburg Jerman) menyelesaikan buku Di dalam berkekalan persahabatan: letters from Raja Ali Haji to Von de Wall. Bersama Dr. Will Derks, ia juga menerjemahkan beberapa esai dan puisi-puisi ke dalam Bahasa Indonesia. Reformasi Indonesia tahun 1998 menariknya pulang ke Riau, dan ikut menceburkan diri dalam gerakan-gerakan perwujudan keadilan sosial, politik, dan budaya di bumi Lancang Kuning ini.

Pada tahun 2012, ia diamanahkan ‘membantu’ budayawan H. Tenas Effendy untuk memperkuat peran Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR; sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian) demi lebih memartabatkan adat-istiadat Melayu dan memulihkan hak-hak sosial-ekonomi masyarakat adat Melayu Riau. Pada akhir Februari 2015, H. Tenas Effendy berpulang. Pada musyawarah besar LAMR tahun 2017, Al azhar diamanahkan mengganti kedudukan Almarhum Tenas Effendy sebagai Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat, sampai tahun 2022. Dalam kedudukannya itulah ia digelari Datuk Seri Amanah Adat Melayu Riau.

Al azhar menikah dengan kawan kuliahnya di FKIP Universitas Riau, bernama Eryati. Mereka dikurniai empat orang anak, tiga laki-laki dan seorang perempuan. Dari tiga puteranya yang sudah menikah, ia dikaruniai Allah lima orang cucu.

Sumber : Dr. El Mustian

Editor : Vie

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terbaru